Sama seperti ratusan juta rakyat
Indonesia, sebelum Tempo mengangkat isu Jokowi, Esemka dan predikat Jokowi
sebagai "walikota terbaik sedunia" saya tidak mengenal Jokowi. Siapa
itu Jokowi? Mengapa ada tokoh sehebat itu tapi saya tidak pernah mendengar
sebelumnya? Masa saya se"kuper" itu? Kendati demikian melihat
kemunculan Esemka bertepatan momentumnya dengan pemilihan gubernur DKI, maka
saya sudah menduga bahwa kedatangan Jokowi ke Jakarta dengan mengendarai Esemka
(katanya) adalah sebagai usaha Jokowi untuk melakukan pencitraan terselubung
dan kampanye secara diam-diam.
Walaupun sudah mengetahui Jokowi
sedang menunggangi Esemka untuk tujuan politiknya waktu itu saya tidak terlalu
peduli karena sejak orde baru tumbang saya sudah menjadi golput dan apolitis.
Tetapi ada satu hal yang waktu itu mengganjal, yaitu komentar Jokowi ketika
Esemka gagal lolos uji coba pertama kali yaitu: "Seharusnya loloskan saja,
ini kan demi industri mobil nasional". Saya berpikir ini orang asal bunyi
atau memang bodoh? masa meloloskan mobil yang jelas-jelas tidak lolos uji coba,
yang ada harusnya produsen Esemka meningkatkan kualitas mobilnya sesuai standar
yang ditetapkan bukan standar yang diturunkan mengikuti Esemka.
Sesuai dugaan akhirnya Jokowi dan
Ahok bertarung di pilkada DKI, dan saya kembali golput pada putaran pertama
karena menilai semua calon tidak ada yang benar. Baru setelah Foke menjalankan
kampanye rasis dan SARA karena kalah pada putaran pertama itulah akhirnya saya
mendukung Jokowi-Ahok dan untuk sementara menyingkirkan sikap apolitis saya dan
ikut berkampanye untuk "Jakarta Baru". Sejarah mencatat akhirnya
Foke-Nara tersingkir dan Jokowi-Ahok terpilih menjadi pasangan gubernur-wakil
gubernur baru DKI Jakarta.
Di hari pelantikan mereka saya
berharap kali ini tidak salah memilih pemimpin, dan beberapa bulan pertama
memang mereka menunjukan bahwa mungkin saja pasangan tersebut dapat menanggung
harapan warga Jakarta dengan baik.
Sayangnya, harapan tersebut mulai hilang
ketika saya melihat bagaimana Jokowi menangani banjir 2012-2013, yaitu dengan
memanfaatkan momentum banjir yang membawa penderitaan rakyat itu sebagai alat
pencitraan dengan memfokuskan diri di bendungan Latuharhary yang jebol dan
bahkan dengan tidak malu menyebut dirinya sebagai "superman banjir",
sementara itu seluruh Jakarta Utara tenggelam, dan warganya kelaparan, dingin
serta terjebak banjir tanpa pertolongan. Pertolongan baru diberikan ketika
Jokowi sudah selesai pencitraan di Latuharhary beberapa hari setelah hujan.
Kejam! Membiarkan warganya terjebak banjir hanya demi sedikit pencitraan,
sungguh keji orang ini saya berpikir demikian.
Seberapa besarpun simpati saya pada
Jokowi yang masih tersisa sejak Jokowi menelantarkan jutaan warga Jakarta Utara,
habis terkikis ketika setelah banjir Jokowi kembali memanfaatkan momentum
banjir untuk pencitraan dengan membawa tronton keliling Jakarta membagi-bagi
alat tulis dan sembako sendiri. Memang tidak ada pegawai pemprov yang bisa
keliling Jakarta untuk melakukan hal tersebut? Sekarang kita tahu alasannya,
Jokowi harus melakukannya sendiri sebagai persiapan pencapresan dirinya tahun
2014, sehingga dia harus memaksimalkan waktu sebagai gubernur untuk menggenjot
citra diri. Sungguh licik!
Tahun 2013 benar-benar membuka mata
saya tentang Jokowi, tentang kesalahan besar saya mempercayai hiruk pikuk
mengenai Jokowi tanpa memeriksa latar belakang dirinya. Ternyata tidak ada satu
halpun yang digembar-gemborkan media massa tentang Jokowi yang benar atau
akurat. Jokowi sungguh pemimpin berkinerja paling buruk sepanjang 30 tahun
lebih saya hidup di Jakarta. Mau dimulai darimana menulis tentang hal ini?
KJS ternyata dikeluarkan asal
sekedar cepat dan lagi-lagi proyek pencitraan Jokowi yang menimbulkan
kesengsaraan rakyat yang luar biasa, ibu mertua saya sendiri nyaris menjadi
korban KJSnya Jokowi yang merusak sistem puskesmas dan rumah sakit. Untung
kementerian kesehatan turun tangan memberi sistem kepada KJS sehingga dapat
menghilangkan korban jiwa yang mulai muncul karena KJS Jokowi.
Bolos-bolosnya Jokowi untuk jadi
juru kampanye PDIP demi tebar pesona di daerah-daerah, nonton konser,
memamerkan taman waduk pluit yang tidak ada hubungan dengan revitalisasi waduk
pluit dapat diduga adalah bagian persiapan menuju deklarasi pencapresan
dirinya. Pencitraan tentu bukan dosa, yang menjadi masalah ketika rakyat
Pademangan tenggelam karena Jokowi ingkar janji akan merevitalisasi Kali Mati,
Jokowi ternyata asik-asikan nonton konser ke Malaysia. Waktu itu saya berpikir,
apa hati nurani orang ini masih bekerja? Sungguh keji sekali.
Menjelang berakhirnya 2013 santer
berita bahwa penyerapan anggaran DKI sangat rendah, hanya 30% yang membuktikan
Pemprov DKI di bawah Jokowi sama sekali tidak bekerja. Hal ini membuat saya
ingat kembali bahwa APBD memang dibuat Jokowi-Ahok dengan asal jadi, asal
hitung kancing dan asal cepat, karena Jokowi mengaku dia "pusing dan sakit
kepala membaca neraca keuangan DKI". Saya berpikir, ini orang kerjanya
ngeluh mulu, kalau tidak suka bekerja sebagai gubernur, resign saja boss..
Semua kejadian tahun 2013 baik yang
telah saya tulis di atas maupun belum ternyata hanya puncak gunung es dari
kebobrokan Jokowi sebagai pemimpin maupun individu. Yang paling menyakitkan
adalah akhir 2013 dan awal 2014 saya melihat Jakarta di bawah Jokowi dan
bergumam "kok Jakartaku jadi begini?". Ironisnya, ini adalah ungkapan
dalam salah satu jingle Jokowi ketika dia kampanye cagub DKI. Macet tambah
parah, hujan lima tahun menjadi banjir setiap hujan, monorel ternyata kembali
mangkrak karena groundbreaking tanpa izin, di sana sini tambah kumuh, jalanan
rusak dan bolong di sana sini, wah, Jakartaku kok jadi begini? Apa yang
terjadi?
Walaupun jelas-jelas Jakarta tambah
kumuh dan miskin di bawah dirinya, tapi saya sudah menduga sejak Jokowi ikut
jadi juru kampanye pilkada Rieke Dyah Pitaloka bahwa Jokowi berambisi menjadi
presiden dan mau memanfaatkan kesempatan pencitraan di Jawa Barat dan yang lain
seperti ketika Jokowi ke Sumatera menunggangi pembukaan Bank DKI untuk
pencitraan dirinya. Tetapi tentu saja indikasi paling jelas bahwa Jokowi akan
nyapres adalah pertemuannya dengan Ahok yang ditemani oleh Megawati dan
cukongnya, Prajogo Pangestu pada Desember 2013 yang membicarakan penarikan Ahok
ke PDIP dan penundukan diri Ahok kepada PDIP bila Jokowi menjadi presiden.
Melihat ambisi besar Jokowi ini saya
berpikir, ini manusia berkarakter rumongso iso nanging iso rumongso, merasa
bisa tapi tidak bisa merasa atau maksud hati memeluk gunung tapi apa daya
tangan tidak sampai. Mengurus Solo dan Jakarta saja masih kelimpungan malah
bermimpi jadi presiden, tidakkah dia memiliki urat malu? Apalagi sampai bolos
kerja demi pencapresan dan menemani Megawati ke Blitar. Sudah jelas bolos dan
sudah jelas ke Makam Soekarno demi pencapresan dan diagendakan, Jokowi masih
sempat-sempatnya berbohong dan mengatakan kebetulan ketemu Megawati di Blitar,
sungguh orang yang tidak bisa dipercaya dan dipegang kata-katanya.
Jadi pertanyaan pada diri saya
adalah, apakah saya mau dipimpin orang yang tinggal gelanggang colong playu
alias meninggalkan tanggung jawab; tidak bisa dipercaya; merasa bisa tapi tidak
bisa merasa; suka berbohong; ambisius dengan mengorbankan rakyat? Saya tidak
mau dan menolak dipimpin orang seperti itu. Bagaimana dengan anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar