Breaking News

Selasa, 13 Mei 2014

Menurut Agan "Jokowi" layak jadi Presiden ??



Banyaknya hasil survei dan dukungan terhadap Jokowi untuk nyapres tahun ini membuat saya tergelitik untuk menanggapi dan mengeluarkan pendapat saya berkaitan dengan hal tersebut. Bagi saya Jokowi untuk saat ini belumlah layak menjadi Presiden. Tentu tak etis kalau hanya berkata tidak layak. Maka beberapa poin di bawah ini setidaknya dapat menjelaskan secara masuk akal, mengapa Jokowi belum layak menjadi Presiden, in my opinion.


6 ALASAN JOKOWI BELUM LAYAK MENJADI PRESIDEN
 
1. Jokowi tidak memiliki ‘aura’ seorang presiden
Seorang Presiden harusnya memiliki karisma dan keteguhannya akan suatu prinsip dan sebagainya. Saya tidak melihat hal tersebut secara jelas pada seorang Jokowi. Apakah dia merakyat? Yes.., dekat dengan masyarakat ?Yes….. Tetapi apakah memimpin negara sebesar dan seruwet Indonesia hanya berodal dekat dengan rakyat saja? Saya pikir percuma saja bila pemimpin dekat dengan rakyat namun tidak mampu berbuat banyak pada rakyatnya. Hanya sekadar kepedulian dan bantuan-bantuan. Seorang Presiden haruslah mempunyai program, visi-misi, pemahaman masalah sosial, hukum, ekonomi, dll, dll yang tidak hanya berkaitan dengan segala sesuatu yang bersifat lokal saja, namun juga kebijakan-kebijakan yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi dunia internasional. Seperti harga minyak, isu-isu lingkungan, sosial-politik, iptek dll.

2. Jokowi hanya bagus dan berpengalaman pada daerah sebatas kota
Sebagaimana kita tahu sepak terjang Jokowi dalam dunia politik dan pemerintahan adalah bermula sebagai Walikota Solo(Surakarta). Selama ±7 tahun, Jokowi memerintah di Solo(alias 2 periode) Jokowi dipandang dan dinilai banyak kalangan sukses membenahi Solo, sehingga pemberitaan mengenai dirinya mencuat di media massa. Karena dianggap salah satu walikota terbaik di Indonesia, nama Jokowi pun melambung. Semakin banyaknya orang tahu dan kenal akan Jokowi dan keberhasilannya di Solo, membuat PDIP mencalonkannya sebagai cagub berpasangan dengan cawagub Basuki Tjahaja Purnama(Ahok). Di luar dugaan Jokowi berhasil menang dan terpaksa meninggalkan tugasnya di Solo, meski masih tersisa ±3 tahun masa jabatan.

Kemudian di DKI, namanya semakin diperbincangkan seiring banyak gebrakan fresh ia buat bersama Ahok. Mulai dari rusun, kampung deret, waduk, tanah abang, dll. Masyarakat menilai banyak perubahan positif yang Jokowi lakukan di Jakarta. Semenjak itu pula, gaya blusukan kegemaran Jokowi juga menghiasi pemberitaaan media massa. Dari apa yang saya jabarkan di atas tergambar dengan cukup jelas bahwa Jokowi berhasil dalam memimpin Surakarta, hingga terpilih 2 periode. Kemudian ia juga dianggap cukup sukses di DKI, meski tak sedikit pula yang berpendapat sebaliknya. Lepas dari itu semua, saya relatif setuju bahwa Jokowi berbuat banyak bagi utamanya Solo. Sebagai walikota/gubernur saya anggap baiklah kinerjanya. Tetapi kalau jadi Presiden? Saya pikir tidak.

Menjadi seorang Presiden adalah hal yang sangat-sangat berbeda dengan seorang walikota/Gubernur DKI. Derajat kualifikasi dan kerumitannya berapa kalilipat dibandingkan dengan pejabat setingkat kota. Perlu saya ingatkan bahwa Jokowi hanya berpengalaman memimpin Solo yang luasnya hanya 44.03 km2 serta Jakarta yang berluas wilayah 740,3 km2. Yang Jakarta baru ± 1 tahun 5 bulan . Kedua wilayah itu terlampau kecil dan tidak relevan dengan besarnya wilayah dan penduduk negeri seluas Indonesia. Solo dan Jakarta hanyalah seluasan sebuah kota, bahkan provinsi pun tidak. Lo, Jakarta kan provinsi? Yes, Jakarta absolutely province , tetapi Jakarta dijadikan provinsi hanya karena status/kepentingan sebagai ibuKOTA negara. Maka saya anggap Jakarta hanyalah kota yang diprovinsikan, bukan sebuah provinsi murni(Just FYI:Jakarta adalah provinsi terkecil di Indonesia)

Jadi jika gaya kepemimpinan di sebuah kota dijadikan patokan kepemimpinan daerah apalagi nasional tentu tidak relevan. Gaya blusukan Jokowi di Solo dan Jakarta memang sesuai dengan karakteristik wilayah urban/kota yang dapat dikontrol dan diawasi setiap hari. Tetapi, bila suatu negara tentu amat sangat tidak memadai hanya mengandalkan blusukan saja. Karena luas Indonesia yang berjuta kalilipat lebih luas dibandingkan Jakarta apalagi sebuah kodya. Konsep blusukan jelas irrasional/ tak masuk akal bila dilakukan seorang Presiden.

Apakah Presiden boleh blusukan? Boleh, tetapi bukanlah setiap hari setiap saat, seolah hanya itu yang dikerjakkan. Apa yang dilakukan presiden sangat banyak dan bukan hanya bertugas layaknya pengawas proyek. Presiden harus mendelegasikan dan memberi kepercayaan pada orang-orang yang tepat untuk mengawasi masing-masing sektor. Terlalu banyak watu yang terbuang dan masalah menanti kalau hanya dengan blusukan. Apalagi presiden haruslah mampu membuat keputusan-keputusan yang cepat, dan mungkin tidak populis. Salah atau ragu sedikit, tentu risikonya berdampak buruk bagi seluruh Indonesia.

Jadi presiden tak semudah itu. Semua permasalahan dan kebobrokan bangsa selalu menunggu untuk dibenahi. Tentu tekanan dan tanggung Jawab seorang presiden sangat-sangat besar. Saya tidak mempermasalahkan dengan gaya blusukan . Hanya saja gaya ini hanya manjur jika diterapkan di daerah yang wilayahnya terbatas, karna fungsi pengawasannya mudah diamati. Seperti wilayah perkotaan/pedesaan.

Saya ingatkan lagi, Presiden ini tak hanya berhadapan dengan sesama warga Indonesia. Menjadi Presiden berarti harus banyak berhadapan, bertemu dan bernegosiasi ,melobby dengan banyak pihak luar. Hal ini yang sangat jarang dilakukan oleh walikota. Ingat, jabatan Presiden adalah jabatan makro dan semakin penuh ancaman, sedangkan walikota adalah jabatan yang sangat mikro dan sempit. Jangan harap hasil yang terlalu banyak dan sesuai bila seorang pemimpin yang terbiasa mikro dijebloskan ke makro. Pemimpin mikro yang baik≠pemimpin makro yang baik, anda harus ingat itu.

3. Jokowi tidak yakin jadi Presiden

Dari cara Jokowi menyampaikan pendapat mengenai dirinya berkaitan dengan hal pencapresan yang saya amati, Jokowi hanya menjawab” Nggak mikir,nggak mikir”. Selain itu muncul juga jawaban tanya ketua umum, serta mengurus Jakarta saja sudah pusing, jumpalitan kok disuruh yang lain-lain. Yang dapat saya tangkap adalah keraguan Jokowi menjadi Presiden. Jokowi merasa kurang PD(Percaya Diri) untuk maju,meski memiliki banyak pendukung yang mendukungnya habis-habisan.

Kedua, Jokowi merasa di jabatannya sekarang sebagai seorang gubernur saja, dia sudah merasakan betapa susah dan berat menjalaninya. Ia sendiri mengungkapkannya dengan kata pusing dan merasa kepayahan mengahadapi permasalahan banjir ibukota, rusun, KJP,KJs, transjakarta, dll. Bagaimana bisa orang yang masih bekerja dan merasakan beratnya penanganan ibukota, disuruh untuk memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar,luas, ruwet? Apa nggak semakin jumpalitan, semakin pusing tujuh kelililing tuh? Belum masalah ekonomi, pangan, perdagangan, konflik ? Apakah Jokowi pernah /sudah mikir ke situ? Ketika beban di Jakarta masih menumpuk apakah kita ingin memberi beban kepadanya yang ≥100x lipat lebih berat lagi?

Yang ketiga adalah “Tanya ketua umum”. Pernyataan seperti ini juga indikasi yang kurang baik bagi seorang yang digadang-gadang jadi capres. Kesan yang publik tangkap jadinya, Jokowi tidak punya pendirian atas dirinya. Kalau Jokowi siap meskipun partai belum menentukan saya rasa tidak ada masalah untuk sekadar bilang siap.Toh, nanti yang memutuskan jadi/tidaknya menjadi capres adalah ketum(Mega).

Keragu-raguan, kebimbangan serta cari aman saja, ini sikap yang abu-abu dan berbahaya dalam mengemban suatu jabatan mahapenting. Kalau Jokowi menolak, ya tinggal bilang tidak. Jangan memberi jawaban seperti itu, biar jelas gitu lo. Padahal, seorang Presiden harus memiliki kepercayaan diri, keberanian dan kepastian dalam mengambil banyak keputusan penting. Jika keputusan nyapres saja masih ragu, bagaimana bisa mantap memutuskan persoalan seperti kriminalitas, pangan, infrastruktur dll?

Ekspektasi masyarakarat yang besar pada hanya seorang Jokowi saja tentu sangat riskan. Andai kata Jokowi memenangkan Pilpres 2014, dan tidak mampu banyak memenuhi ekspektasi setiggi langit pendukungnya, tentu berbahaya. Nasib Jokowi bisa serupa seperti SBY, yang sebelum Pilpres dipuja-puja dan banyak meraih simpati rakyat. Namun berbalik menjadi banyak mengkritisi ,menyerang ketika SBY berkuasa . Itu bukti kekecewaan rakyat pada SBY, yang tidak mampu memenuhi ekspetasi besar publik. Belajar dari pemilu sebelumnya, seharusnya kita tak mau lagi mengulangi kesalahan yang sama. Bahwa overexpectation hanya pada 1 orang pribadi bukanlah tindakan yang bijak dan rentan menjadi blunder di kemudian hari.

4. Jokowi rentan dimanfaatkan saja(pion politik)
ini masih berkaitan dengan alasan sebelumnya. Menurut berbagai hasil survei beberapa lembaga, popularitas dan elektabilitas Jokowi disebut-sebut tertinggi dan susah ditandingi capres lainnya. Banyak orang ’bilang’ bahwa besar kemungkinan Jokowi menang dalam pemilu bila jadi dicapreskan oleh partainya. Tentu hasil ini menjadi berkah bagi utamanya PDIP dalam menyambut Pemilu 2014 nanti. Bahayanya, jika elektabilitas yang tinggi ini hanya dimanfaatkan oleh partai semata untuk meraih kekuasaan.

Bukan rahasia umum lagi bagi kita, bila PDIP cukup gerah untuk terus menjadi oposisi selama 10 tahun. Melihat hasil survei yang ada rasanya terlalu manis bagi partai untuk acuh dalam mempertimbangkan survei itu dalam keputusan menentukan capres. Sebenarnya, melihat beberapa isu dan rekaan yang ada kemungkinan capres dari PDIP tak jauh-jauh dari nama Mega dan Jokowi. Selebihnya ada beberapa nama,seperti Risma dan Rustriningsih maupun Puan, dll. Tentu nama Mega dan Jokowi adalah kandidat yang cenderung lebih realistis dan menjual ketimbang nama lainnya.

Kita semua tahu bahwa, keputusan penentuan capres dari PDIP sepenuhnya berada di tangan Ketum(Megawati). Santer dikabarkan di media masa bahwa kemauan Megawati untuk nyapres masih ada dan membara. Namun, sayang fakta yang ada, elektabilitas Megawati dalam berbagai hasil survei tidak terlalu memuaskan.Yang patut diketahui, elektabilitas Megawati jauh di bawah Jokowi. Dengan adanya fakta ini, tentu Megawati akan menghadapi dilema yang cukup pelik dalam pengambilan keputusan bagi partainya. Jika ia menyalonkan diri sebagai presiden, tentu kemungkinannya cenderung lebih kecil untuk menang. Berbeda jika Jokowi yang dicalonkan.

Apa kaitannya dengan rentan dimanfaatkan?Jokowi rawan hanya menjadi pion partai untuk meraih kekuasaan. PDIP yang cari aman, sangat mungkin untuk ‘nekat’ mencapreskan Jokowi dengan bekal hasil survei itu. Jika menang, Jokowi berpotensi hanya menjadi presiden bayangan, yang dikontrol oleh Partai dan kemungkinan besar Megawati yang bisa jadi wapresnya/tidak. Karena sedari awal Jokowi hanya ngikut partai dan tak pernah menyatakan kesiapannya. Segala arah kebijakan dan keputusan yang Jokowi ambil mungkin saja tak lepas dari intervensi partai dan Mega yang mengontrol. Kenapa saya khawatirkan hal tersebut? Simple saja, melihat pengalaman Jokowi yang sangat hijau sebagai seorang yang hanya terbiasa memimipin kota kemudian harus mengurus organisasi yang begitu ruwet dan ‘raksasa’, sangatlah mungkin Jokowi kebingungan dan kesulitan untuk memulai dan melaksanakan tugas barunya. Di saat yang seperti itu sosok Megawati yang sangat berpengalaman dalam dunia perpolitikan dari Sabang sampai Merauke, serta pernah menjadi Presiden agaknya memungkinkan dirinya untuk mengarahkan dan terlibat dalam banyak hal. Apalagi hal ini didukung oleh sifat Jokowi yang amat menaruh hormat dan nurut sama Ibu Megawati.

5. Jokowi tidak memiliki kesiapan/program yang jelas bagi Indonesia
Seorang capres hendaknya memiliki visi-misi dan program yang akan dilaksanakan ketika berhasil memenangi pemilihan itu nanti. Nah, apa saja program Jokowi untuk Indonesia? Kok tak pernah dengar dan tahu ya? Bagaimana bisa seorang yang tidak jelas program kerja dan targetnya diusung menjadi capres? Negeri ini butuh sebuah grandmaster pengembangan dan perbaikan yang mampu untuk diterapkan. Rasanya negeri ini terlalu besar dan terlalu indah kalau hanya dijadikan ‘kelinci percobaan’ selama 5 tahun ke depan. Yang hasilnya sangat kental nuansa gambling dan keraguan.

Bagaimana bisa seorang calon presiden tidak memiliki kesiapan dan rencana apa yang akan dikerjakan bagi negerinya? Mungkin bagi sebagian kalangan die-hard fans nya euforia akan sosok Jokowi mengalahkan segalanya. Tetapi bagi kalangan lain yang peduli akan kemajuan bangsa ini menunjuk seorang Jokowi mungkin bukanlah pilihan yang rasional saat ini. Menempatkan seseorang di tempat yang tidak semestinya dapat menjadi petaka dan amat besar risikonya.

Ingat lo.., ini bukan hanya memilih walikota/bupati/gubernur ini memilih Presiden! Sangat banyak perbedaan wewenang dan semakin banyak pula permasalahan yang harus dibenahi. Tidak mungkin menjalankan pemerintahan dan memimpin Indonesia tanpa rencana roadmap dan langkah-langkah apa yang ingin dilakukan. Mulai dari masalah konflik sosial, agama, masalah vital seperti ekonomi, perdagangan, serta masalah penegakkan dan kepastian hukum yang tegas, dll. Agaknya, kelamaan kalau Presiden hendak memutuskan sesuatu dengan blusukan dulu, terlalu boros waktu. Presiden harus mampu memutuskan sesuatu dengan cepat. Sebelum memulai gebrakan dan langkah strategis, pemimpin harus mampu memahami daerah dan permasalahan daerah yang dipimpinnya. Karena jika tidak, bagaimana mau membuat kebijakan yang tepat jika tidak menguasai tempatnya. Tempatnya itu Indonesia, bukan Solo atau Jakarta.

Negara dan rakyat ini, butuh pemimpin yang cepat, tanggap, dalam bekerja. Memimpin Indonesia tidak cocok dengan gaya yang lamban. Masyarakat sudah kapok dengan pemimpin model itu. Presiden harus punya ‘banyak nyali’ dan tidak mementingkan citra/partai. Ditambah lagi selama ini Jokowi tidak pernah menyuarakan pandangan dan solusi akan masalah nasional secara konkrit. Jokowi cenderung hanya menanggapi terkait dengan Jakarta saja. Artinya Jokowi kurang menguasai masalah Indonesia, yang kadar kompleksitasnya tinggi dan berliku.

6. Jokowi kurang mempunyai kemampuan komunikasi yang baik
Bagi seorang Presiden,skill komunikasi yang baik mutlak menjadi syarat. Ini penting. Mengapa? Seorang Presiden/pemimpin negara dalam banyak kesempatan harus banyak bercakap baik dengan jajaran kabinetnya, Presiden negara lain, rakyat, di forum-forum internasional, membicarakan kerja sama antarnegara dan kawasan. Nyatanya selama ini Jokowi hanya ‘terasah’ berkomunikasi dengan (maaf)golongan bawah. Saya tidak menafikan hal tersebut. Itu juga perlu. Namun,apakah cukup hanya bisa berkomunikasi dengan masyarakat bawah?

Pendekatan komunikasi dengan rakyat kecil tentu sangat berbeda dengan kalangan menengah dan atas. Perbincangan dengan banyak stakeholder seperti pengusaha, kepala daerah, menteri, militer, Polri, ekpertis dll akan menjadi makanan sehari-hari seorang Presiden. Saya kurang yakin dengan kemampuan komunikasi Jokowi . Mengapa? Karena selama di DKI yang banyak berkomunikasi dan berurusan dengan kalangan birokrat, DPR, kelompok masyarakat, teknokrat, dubes, menlu konglomerat, dll dalam berbagai rapat dan acara adalah Ahok. Begitu pula dengan pengambilan kebijakan vital seperti anggaran, program-program kerja dll. Ditambah lagi dengan sikap Jokowi yang sering meragu. Ketika berbericara pun Jokowi juga terlalu sering eee…, eee…, apa itu.. tidak lancar dan kurang detail dalam materi pembicaraan. Maka, boleh dong saya ragu dengan kemampuan Jokowi melobby, negosiasi dengan berbagai pihak dalam maupun luar negeri? Mengingat Ahok tidak akan mendampingi lagi jika Jokowi jadi presiden.

Itulah semua penjelasan yang cukup detail dan mewakili, perihal pendapat saya mengenai pencapresan Jokowi. Yang tertulis di atas adalah hanya hal-hal yang mungkin terjadi bilamana Jokowi ikut dan memenangi Pilpres nanti, berdasarkan apa yang saya rasakan. Jadi/tidaknya Jokowi menjadi capres nantinya, seenggaknya tulisan ini menuangkan perpektif baru mengenai isu pencapresan dan kelayakan Jokowi. Hadirnya tulisan ini juga sekaligus menjadi alternatif jawaban akan isu ini. Saya tegaskan tulisan ini murni pendapat saya. Bukan pesanan/simpatisan pihak politik manapun. Saya tidak pernah menilai seorang berdasarkan parpolnya. Saya tidak ada tendensi apapun untuk menyerang Jokowi atau Partai manapun. Jikalau saudara berbeda pendapat dengan saya, saya rasa itu fine dan sah-sah saja. Terakhir, silahkan saja jika anda mendukung pencapresan Jokowi. Toh saya tidak pernah memaksakan pendapat saya. Terima kasih.


yah... masa orang yg tampang ama mental pembokat kita pilih jadi presiden??

·         belom lagi congornya ga singkron ama kelakuan
·         belom lagi tampangnya lebih cocok jadi penjaga TPS drpd presiden
·         belom lagi kerjanya cuma karyawisata doang, yg kerja wakilnya
·         belom lagi partainya isinya tukang copet koruptor pembuat vid mesum dll
·         belom lg pas kampanye doyannya mabok, nonton tari erotis, tawuran, gebugin orang
·         belom lagi visinya ga jelas
·         belom lagi nyuruh2 santun tapi berhasil ngibulin warga Jakarta
·         belom lagi hopelesnya kita kalo entar para asistennya dia preman2 pasar

jokowi for president.....joke of the year

ga ada calon lebih baik????...welll mari kita analisa

soal HANKAM, apakah jokowi lebih baik drpd prabowo, pramono edi wibowo atua wiranto?

soal hukum, apakah jokowi lebih baik dr mahfud md atau yusril izha ahkan farhat abbas?

soal perbankan, apakah jokowi lebih baik dr rizal ramli,atau gita wiryawan?

soal manajemen dan bisnis, apakah jokowi lebih baik drpd harry tanoe atau ARB?

soal visi bangsa, apakah jokowi lebbih bagus dari surya ploh atau anis matta?

soal kredibilitas dan kejujuran, apakah jokowi lebih bagus drpd hidayat nur wahid dan mahfud md?

soal tata negara, apakah jokowi lebih baik drpd yusril ihza atau hidayat nurwahid?

soal ekonomi pembangunan, apakah jokowi lebih baik drpd hatta rajasa atau prabowo?

dan ane belom masukin nama JK loh
so........?
 
Sumur : Kaskus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By