JAKARTA (voa-islam.com)
- Mengapa Mega memilih Jokowi menjadi calon presiden PDIP? Tidak memilih
tokoh lainnya, seperti Prabowo, atau Ganjar Pranomo yang lebih ‘smart’ dan
berpengalaman dalam politik.
Apa pengaruh ‘tujuh tokoh’ yang
bertemu di Singapura terhadap keputusan Mega? Mengapa ada pertemuan antara
Mega,Jokowi, Sabam Sirait dengan sejumlah Duta Besar Negara Barat, seperti
Amerika Serkat, Inggris, dan Vatikan di rumah Jacob Soetojo? Siapa Jacob
Soetojo?
Jika dilihat semua rangakaian cerita
itu, memang Mega, Jokowi, dan PDIP hanya menjadi katalisator atau ‘pelayan’ bagi
kepentingan asing, khususnya Barat, jaringan gerakan Zionis-Israel, dan
kelompok Katolik (Ordo Jesuit). Tiga kekuatan itu, berkolaborasi dengan
memanfaatkan momentum perubahan politik yang saat ini berlangsung di Indonesia,
dan bertujuan merebut kekuasaan politik.
Secara ideologis, sejatinya mereka
(Batat, Zionis-Israel, dan Ordo Jesuit) itu, saling berkelindan, sepanjang
sejarah. Misi mereka yang disebut dengan ‘GOLD, GOSPEL, GLORIUS’. Menguasai
sumber daya alam, menyebarkan agama (Kristen), dan kemenangan.
Sepanjang sejarah Indonesia, gerakan
mereka itu melakukan penguasaan terhadap Indonesia tidak berhenti. Secara
klasik mereka menjajah dengan cara menduduki dengan kekuatan militer. Seperti
yang sudah dijalankan oleh Belanda, selama 350 tahun terhadap Indonesia.
Tapi, cara klasik ini sudah dianggap
tidak beradab, dan digantikan dengan cara yang lebih ‘soft’ (lunak), yaitu
dengan menanam lebih banyak para ‘komprador’ (kaki tangan alias budak), yang
selalu taat menjalankan kepentingan asing (Barat, Zionis-Israel, dan
Kristen).
Sekarang berulang lagi, di zaman
‘REFORMASI’ ini, yang menggunakan jargon demokrasi liberal, di mana tiga
kekuatan ‘Triumphirat’ (Barat, Zionis-Israel, dan Ordo Jesuit), ingin kembali
bermain politik dan menguasai kekuasaan politik Indonesia. Seperti awal Orde
Baru, di mana kelompok Katolik Jesuit, yang menggunakan ‘cover’ CSIS (Center
Strategic International Studies), melalui Mega, Jokowi, dan PDIP ingin
menggenggam kekuasaan politik Indonesia.
Tokoh yang menjadi ‘broker’ antara fihak-fihak
yang terlibat dalam perebutan kekuasaan di Indonesia, yaitu Jacob Soetojo.
Jacob Soetojo adalah anggota ‘TRILATERAL COMMISSION’, sebuah kelompok “Hawkis”
sayap kanan Amerika, yang merupakan kolaborasi antara Barat,Zionis-Israel, dan
Kristen, dan ingin melanggengkan penjajajahan di negara-negara ‘jajahan’. Jacob
Soetojo juga menjadi salah satu orang penting di CSIS.
CSIS lahir diawal Orde Baru, dan
merupakan kolaborasi antara kelompok jenderal ‘abangan’ dengan kelompok Katolik
(Ordo Jesuit), dan di dalam lembaga ini terdapat tokoh Jesuit, yaitu Pater
Beek. CSIS yang menjadi ‘cover’ gerakan anti Islam itu, sengaja dibangun, dan
berhasil menyusup ke pusat kekuasaan melalui sejumlah jenderal, seperti
Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan Benny Moerdani.
Tokoh-tokoh sipilnya, Hary Tjan
Silalahi, Mari Elka Pangestu, Wanandi ‘bersaudara’ (Sofyan Wanandi, Yusuf
Wanandi, dan Markus), semuanya mereka menjadi ‘backbone’ CSIS, dan berhasil
mengelola perubahan politik di Indonesia, dan menghancurkan kekuatan Islam, dan
kemudian kelompok itu menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia.
Sekarang tiga kekuatan ini (Barat,
Zoinis, dan OrdoJesuit), membuat langkah yang tidak banyak dipahami oleh
rakyat dan bangsa Indonesia. Sejak tahuh 2007, mereka sudah ‘prepare’ dengan
memilih tokoh, yang ingin dijadikan kendaraan bagi pengambil-alihan ‘take over’
terhadap Indonesia, yaitu Jokowi.
Jauh sebelum menjadi calon gubernur
DKI, sudah berlangsung pertemuan antara Jokowi dengan kekuatan atau tokoh yang
mewakili kepentingan (Barat, Zionis, dan Ordo Jesuit), dan jokowi menjadi
anggota Freemansonry dan Rotary Club.
Skenario menaikkan Jokowi sebagai
calon presiden itu sangat mudah bagi mereka. Hanya bermodalkan media. Opini
secara massive dibentuk. Melalui jaringan media katolik (Kompas), atau sekuler
Tempo,yang didirikan oleh Gunawan Mohamad. Nama Jokowi menjadi melambung.
Ditambah bumbu-bumbu ‘penyedap’
seperti Jokowi tokoh yang sederhana, tidak korup, suka ‘blukusakan’ ke
kampung-kampung’, memperhatikan nasib rakyat, dan bahkan Jokowi dicalonkan
sebagai walikota terbaik ‘dunia’. Semua itu hanyalah bumbu ‘penyedap’ bagi
Jokowi. Sesudah itu, survei-survei dimainkan oleh Kompas, CSIS, dan
lembaga-lembaga survei ‘bayaran’ yang menggelembungkan Jokowi.
Sontak nama ‘Jokowi’ sudah tidak ada
lagi yang menandinginya. Ini hanyalah sebuah methode yang dijalankan oleh
kekuatan (Barat, Zionis-Israel, dan Ordo Jesuit), melakukan manipulasi terhadap
bangsa Indonesia.
Itulah sebuah rekayasa sosial
politik yang dijalankan dimainkan guna menghasilkan perubahan dan memenangkan
pertarungan politik, dan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui
pemilihan atau jalan demokrasi di Indonesia oleh kekuatan (Barat,
Zionis-Israel, dan Ordo Jesuit).
Ada sebuah buku yang ditulis oleh
Sembodo menyebut tentang peranan CIA, Freemason, dan Pater Beek dalam
kehidupan politik di Indonesia. Memang, buku-buku sejarah Indonesia yang
diterbitkan pemerintah Orde Baru, nama Pater Beek maupun Freemason sama
sekali tak tercantum.
Namun dalam buku-buku yang ditulis
para penulis lepas dan pemerhati teori konspirasi, nama-nama ini dengan mudah
dapat ditemukan karena keduanya memang ada dan sangat mewarnai perjalanan
sejarah bangsa ini.
|
Pater Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus
Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo
Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola,
Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15
Agustus 1534.
Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar cerita penduduk Amsterdam tentang sebuah negara yang kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dijajah oleh negaranya; Belanda.
Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar cerita penduduk Amsterdam tentang sebuah negara yang kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dijajah oleh negaranya; Belanda.
Kesempatan datang kala ia berusia 22
tahun tepatnya pada tahun 1939, Beek berkat rekomendasi ordonya dikirim ke
Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan
melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi
kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan
negaranya terhadap Indonesia.
Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari, dan yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakatnya.
Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari, dan yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakatnya.
Tak heran jika kelompok-kelompok
perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka
agama Islam, contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika
penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam
harus dilumpuhkan.
Dengan cara ini Belanda bahkan
mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan
lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas
dan licik. Sesuai dengan karekternya.
Selesai menjalankan tugas, Beek
kembali ke negaranya, dan pada 1948 ditahbiskan menjadi pastur. Pada 1956 atau
setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia, ia kembali ke
Nusantara dengan misi yang jauh lebih besar karena dia tak hanya kembali
sebagai seorang misionaris, namun juga seorang anggota Freemasonry dan
CIA.
Benarkah Beek Mason dan Anggota CIA?
Seperti kita ketahui, Freemason
berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan NWO (Tatanan Dunia
Baru) dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk
mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar.
Meski anggota organisasi
persaudaraan rahasia ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di
berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya,
namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian
ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia,
negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij.
Melalui organisasi ini, Freemason
membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar
antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi.
Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan
Indonesia.
Dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.
Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi.
Beek kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.
Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini.
Dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.
Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi.
Beek kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.
Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini.
Di awal Orde Baru, Pater Beek kembali
ke Indonesia, dan bersama dengan sejumlah cendikiawan Katolik mendirikan CSIS.
Pater Beek dikenal dengan theori konspirasinya yang disebut ‘two devils’ (dua
setan), yang menjadi musuh mereka, yaitu militer dan umat Islam. Beek melalui
CSIS berhasil melakukan lobi dengan sejumlah jenderal ‘abangan’ yang digunakan
mempenetrasi kekuasaan Soeharto.
Selama tiga dekade Soeharto dibawah
pengaruh CSIS, dan melaksakan konsep ekonomi dan politik dari CSIS, dan
menghancurkan umat Islam, secara keji. Sehingga, umat Islam menjadi kelompok
pariah (jembel),dan termarginalisasi.
Penjajah “Asing dan A Seng”,
akhirnya menguasai Indonesia. Sekarang ingin diulang kembali melalui kuda
tunggangan mereka yang bertujuan menguasai dan menjajah Indonesia.
(jjh/dbs/voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar