Bila tentara-tentara Yahudi Israel
senantiasa membunuh kaum Muslim Palestina dengan kejam, maka
intelektual-intelektual Yahudi mengendalikan negeri-negeri Muslim dengan
membentuk lembaga-lembaga survei.
Burhanuddin Muhtadi yang kini terkenal
sebagai pengamat politik, ternyata semasa kuliah di Faculty of Asean
Studies, Australian National University, pernah membuat tulisan yang
memojokkan intelektual Islam. Direktur Eksekutif Indikator Politik
Indonesia ini, saat itu menulis di Graduate Journal of Asia-Pacific
Studies, 2007, dengan judul The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah (Konspirasi Yahudi: Pencarian Anti Semitisme di Media Dakwah).
Direktur Indikator Politik Indonesia
(IPI), Burhanudin Muhtadi yang menjadi salah satu lembaga survei pro
Jokowi-JK melalui quick count-nya memenangkan pasangan nomor urut dua
(Jokowi-JK).
Burhanudin Muhtadi meyakini kalau hitung
cepatnya itu benar. Bahkan, dia menuding kalau hitungan real count KPU
berbeda jauh dengan hasil hitungannya, maka KPU telah salah hitung.
Selain Indikator, masih ada lagi
sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK, yakni
Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, CSIS, Litbang Kompas,
RRI, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Poltracking
Institute.
Beberapa waktu lalu menjelang pemilu 9
April 2014 Burhanudin juga meremehkan fatwa MUI. Ketika pimpinan MUI
mengeluarkan agar umat Islam memilih caleg Muslim, Dosen UIN dan
Paramadina ini buru-buru menyatakan : “Saya yakin seruan FUI-MUI itu
tidak akan punya efek besar.”
Sosok liberal kelahiran Rembang 1977
yang kini dinilai takabur ini tak diragukan keliberalannya karena dia
adalah Editor di Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta (sejak tahun
2001), masa awal dikenalnya JIL. Bahkan sejak kuliah di Australia,
Burhanuddin sudah menunjukkan dirinya membela Yahudi, hingga Burhanudin
Muhtadi cenderung mengikuti pendapat orientalis, bahwa tidak ada
konspirasi Yahudi.
Inilah sorotannya.
***
Klaim kemenangan quick count pro Jokowi takabur
Sabtu, 12 Juli 2014 / 16:03 WIB
JURNAL3.COM | JAKARTA – Klaim kemenangan
lembaga survei Pro Jokowi_JK yang menyatakan hasil quick count-nya
adalah yang paling benar merupakan sikap takabur.
Mantan Juru bicara Presiden Abdurahman
Wahid alias Gus Dur, Adhie Massardi mengatakan, klaim kemenangan yang
dilansir itu dilakukan oleh lembaga survei yang sudah tidak memiliki
intregritas.
“Itu pernyataan orang takabur, karena
semua lembaga survei di negeri ini sudah kehilangan integritas dan
kredibilitasnya,” tegas Adhie, Sabtu (12/07/2014).
Menurut Adhie, mereka mau bekerja atas bayaran si pemesan atau dibayar dengan konsesi politik.
“Semua itu dilakukan demi kepentingan klien mereka. Tak peduli hal itu merusak iklim demokrasi kita,” lanjutnya.
Untuk diketahui, Direktur Indikator
Politik Indonesia (IPI), Burhanudin Muhtadi yang menjadi salah satu
lembaga survei pro Jokowi-JK melalui quick count-nya memenangkan
pasangan nomor urut dua.
Dia meyakini kalau hitung cepatnya itu
benar. Bahkan, dia menuding kalau hitungan real count KPU berbeda jauh
dengan hasil hitungannya, maka KPU telah salah hitung.
Selain Indikator, masih ada lagi
sejumlah lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK, yakni
Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, CSIS, Litbang Kompas,
RRI, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Poltracking
Institute.@salsa/jurnal3.com
***
Yahudi dan Lembaga Survei
Sabtu, 12/07/2014 13:33:35
Nuim Hidayat
Redaktur Tabloid Suara Islam
Redaktur Tabloid Suara Islam
Bila tentara-tentara Yahudi Israel senantiasa membunuh kaum Muslim Palestina dengan kejam, maka intelektual-intelektual Yahudi mengendalikan negeri-negeri Muslim dengan membentuk lembaga-lembaga survei.
Entah Burhanudin sadar atau tidak, makalah ilmiahnya tentang Majalah Media Dakwah
menguntungkan Yahudi. Dalam artikel itu Burhanudin Muhtadi yang saat
itu menjadi mahasiswa Australian National University meniadakan teori
konspirasi Yahudi. Burhan memuji intelektual politik AS (Yahudi) William
Liddle dan tokoh-tokoh liberal di Indonesia. Ia pun mengritisi dengan
sinis pendapat pakar politik Islam, Prof Amien Rais. Artikelnya yang
dimuat di Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, 2007, itu diberi
judul : The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah. (Lebih lanjut baca : http://www.suara-islam.com/read/index/10586/Burhanudin-Muhtadi-Membela-Yahudi–Memojokkan-Islam)
Selain aktif menulis makalah atau
artikel yang banyak menguntungkan kepentingan Barat, Burhan kini juga
memimpin lembaga survei : Indikator Politik Indonesia. Lembaganya itu
kini sering aktif bekerjasama dengan stasiun MetroTV untuk mempropagandakan pemikiran politiknya atau angka-angka hasil survei lembaganya.
Bila Burhan ‘hanya’ memuji Liddle dari
Australia, maka Saiful Mujani, Denny Ja dan Eep Saefullah Fatah adalah
murid langsung kesayangan Liddle di Ohio State University. Mujani bukan
hanya menjadi murid, sampai sekarang ia bersahabat akrab dengan gurunya
itu dan sering menulis buku berdua. Mujani yang dikenal juga sebagai
pemikir liberal di Indonesia –mereka bertiga bergabung dengan Jaringan
Islam Liberal- membuat LSI di Indonesia. Saat ini ia membuat SMRC,
Saiful Mujani Research and Consulting. SMRC selain membuat survei-survei
untuk pemilihan kepala daerah, wakil rakyat dan calon presiden, mereka
juga memberikan advokasi atau paket-paket strategi pemenangan calon.
Denny JA tidak jauh beda. Pada mulanya
Denny dengan Mujani bergabung membuat LSI, Lembaga Survei Indonesia.
Akhirnya mereka berdua pisah dan mendirikan lembaga masing-masing. Denny
mengklaim telah berhasil dengan lembaganya, menjadikan puluhan calon
kepala daerah sukses meraih jabatannya. Ia pun beriklan di berbagai
media massa bahwa hasil surveinya selalu paling cepat dan paling akurat.
Denny dan Mujani diakui memang yang pertama kali memperkenalkan metode
quick count untuk pemilihan umum di Indonesia.
Selain memperkenalkan lembaga survei,
Denny juga aktif menggalang pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia. Ia
pernah menulis kumpulan puisi ‘Atas Nama Cinta’ yang isinya penuh
dengan pemikiran-pemikiran liberal. Diantaranya : propaganda pernikahan
antar agama, propaganda lesbi/homo, propaganda pluralism dan lain-lain.
Lewat bukunya yang berjudul Atas Nama
Cinta, penerbit Rene Book, yang terdiri dari 216 halaman, Denny mencoba
mengampanyekan pemikirannya. Perlu diketahui, penerbit Rene Book ini
juga yang menerbitkan buku Irshad Mandji: Allah, Liberty and Love.
Dalam karyanya ini, Denny menuliskan puisi-puisi yang intinya mengajak
kepada kebebasan, pembelaan terhadap non Islam dan penyamaan agama.
Puisi Denny ini memang diluncurkan besar-besaran. Selain dipromosikan
besar-besaran di Gramedia beberapa bulan lalu, buku ini juga dilombakan
resensinya di Majalah Tempo, dilombakan videonya, dibedah di beberapa
tempat dan lain-lain. Banyak tokoh memuji buku Denny ini diantaranya
Komaruddin Hidayat, Ignas Kleden, Bondan Winarno, M Sobary dan
lain-lain. Beberapa tokoh menyebutnya genre baru puisi –tapi sebenarnya
model puisi ini telah dimulai oleh Taufiq Ismail.
Gaya puisinya memang cukup bagus, tapi
isinya melenakan dan ‘membodohkan’. Karena ia menggabungkan antara fakta
dan fiksi. Detail kejadian atau tokoh itu fiksi, tapi peristiwanya
menurutnya fakta. Bagi mereka yang awam –‘khususnya masalah Islam dan
sosial politik’- bisa hanyut oleh puisi Denny ini.
Dalam puisinya tentang Cinta Terlarang
Batman dan Robin, misalnya, Denny pintar memainkan kata-kata untuk
membela kaum Gay. Di puisi itu ia mengambarkan kisah cinta antara Amir
dan Bambang. Amir seorang yang sebenarnya rajin ibadah digambarkan punya
kelainan seksual genetis menyenangi pria. Meski mencoba menikahi dua
wanita –sesuai pesan ibunya agar segera menikah—tapi akhirnya kandas. Ia
tetap mencintai Bambang seorang gay yang akhirnya menjadi aktivis gay
internasional. Bila Hanung Bramantyo kemudian menfilmkan naskah puisi
Denny ini –dengan latar belakang pesantren dan kabarnya film ini akan
dirilis Oktober 2012 ini— maka sebenarnya Hanung dan Denny bisa
dikatakan menggambarkan kejelekan Muslim dan membela opini bahwa gay
adalah masalah genetika. Padahal para ahli banyak menyatakan bahwa gay
atau homoseksual banyak diakibatkan oleh lingkungan. Karena kalau itu
masalah gen tidak bisa disembuhkan, maka pertanyananya untuk apa adanya
pendidikan? Bukankah banyak gen yang berotak bodoh di dunia ini?
Begitu juga ketika Denny JA bercerita
tentang kisah cinta Romi dan Yuli. Puisi ini sudah dibuat filmnya oleh
Hanung. Di puisi ini Hanung berkisah tentang Romi dan Yuli. Ayahnya Romi
berasal dari Cikeusik yang merupakan komunitas Ahmadiyah. Sedangkan
ayah Yuli dari kalangan Muslim yang anti-Ahmadiyah. Tapi Romi dan Yuli
memutuskan untuk tetap meneruskan kisah cinta mereka. Bedah buku dan
pemutaran video puisi esai Denny JA ini menjadi puncak acara lomba
sastra antar SLTP dan SLTA se- Provinsi Banten pada awal Juni lalu.
(lihat http://puisi-esai.com/2012/06/04/pelajar-banten-bedah-buku-denny-ja-tanamkan-toleransi-beragama-lewat-sastra/)
Sedangkan dalam film yang berjudul Batas
yang merupakan pemenang pertama (berhadiah 20 juta) lomba Review untuk
buku puisi Denny, jelas-jelas film itu pluralisme atau mempropagandakan
perkawinan antar agama. Di film yang berdurasi total 7 menit 1 detik
itu, pembuat film Ahmad Syafari mengisahkan percintaan antara Dewi yang
Muslimah dan Albert yang Kristen. Mereka cukup lama berpacaran, tapi
karena bapaknya Dewi melarang menikah dengan lain agama (Albert) maka
akhirnya Dewi menikah dengan laki-laki Muslim. Cuma digambarkan di situ
meski keluarganya cukup kaya, Dewi tidak bahagia, ia sering melamun ke
Albert dan mengingat masa lalunya dengannya. Apalagi di rumahnya Dewi
harus mencopot sepatu suaminya (tiap) sehabis pulang kantor. Sementara
Albert hidup sederhana dan tetap di gereja yang sederhana (lihat www.puisi-esai.com).
Film pendek itu memang secara halus
menghina Islam. Ketika bapak Dewi dengan pakaian putih dan kopiah putih
mengatakan ‘dengan arogan’: “Aku sangat malu menjadi orang tua yang kena
murka Allah, aku tak akan tahan menjadi insan yang dilaknat hanya
membiarkan anaknya menempuh jalan yang sesat.” Selain itu penggambaran
wanita Muslimah yang mencopot sepatu suaminya ketika pulang kantor, juga
berlebihan. Karena peristiwa ini jarang terjadi di keluarga-keluarga
Muslim.
000
Kini Denny membuat gerakan ‘Indonesia
Tanpa Diskriminasi’ untuk mengegolkan agenda politiknya. Ia mengeluarkan
uang milyaran baik untuk pembuatan buku, film maupun iklan-iklan di
media massa. Inti gerakannya ini adalah Indonesia tidak boleh
membeda-bedakan warganya berdasarkan agama, suku dan lain-lain.
Seolah-olah idenya ini menarik dan benar, padahal dibalik itu ia sedang
mendukung hegemoni kelompok etnis non pribumi dan asing terhadap
sumberdaya ekonomi Indonesia. Dan pemikirannya ini berbahaya, karena ia
meniadakan konsep mayoritas dan minoritas agama di Indonesia. Padahal
masalah agama di Indonesia, adalah identitas politik yang penting dalam
pengambilan kebijakan di Indonesia.
Denny memang punya pengaruh besar dalam
politik di Indonesia. Di dunia akademik, Denny JA mendirikan Lembaga
Survei Indonesia (LSI, 2003) Lingkaran Survei Indonesia (LSI, 2005),
Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI, 2007), serta Asosiasi Konsultan
Politik Indonesia (AKOPI, 2009). Melalui empat organisasi ini, Denny
JA dianggap founding father tradisi baru survei opini publik dan
konsultan politik Indonesia. Di dunia politik (2004-2012), Denny JA
diberi label king maker. Ini berkat perannya membantu kemenangan
presiden dua kali (2004, 2009), 23 gubernur dari 33 propinsi seluruh
Indonesia dan 51 bupati/walikota.
Sedangkan Eep Saefulloh Fatah kini
moncer dengan lembaga surveinya Pollmark Indonesia. Ia menjadi konsultan
politik Jokowi sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI
Jakarta (2012). Eep juga masuk dalam daftar aktivis Jaringan Islam
Liberal yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla.
Sebenarnya ada satu lagi murid
kesayangan Liddle di Indonesia. Yaitu Rizal Mallarangeng. Rizal yang
pernah aktif membantu Megawati ketika presiden, entah mengapa, akhirnya
menyeberang ke Golkar. Ia kini sangat dekat dengan Aburizal Bakrie.
Kemana-mana ia sering mendampingi bos nomor satu Golkar itu. Baik saat
olahraga (tenis) maupun lobi-lobi politik. Bahkan Rizal juga ‘menodong’
Bakrie untuk membiayai program-programnya di Freedom Institute.
Rizal yang latarbelakang akademisnya
ekonomi politik ini, sering menjadi ‘host’ dalam mengegolkan
kepentingan-kepentingan bisnis Amerika disini. Diantaranya ia menjadi
wakil perusahaan minyak AS, Exxon Mobil, untuk memenangkan tender proyek
minyak di Cepu. Prestasinya dalam liberalisasi politik adalah membentuk
Freedom Institute di Jalan Proklamasi Jakarta. Ketika membentuk
perpustakaan Freedom Institute ia bercerita dengan bangga mendapat
bantuan dari Liddle satu milyar untuk membeli buku-buku untuk
perpustakaannya.
Walhasil Barat, khususnya AS dan
Australia, lewat intelektual-intelektual yang dididiknya kini berhasil
menancapkan kuku kepentingannya yang dalam di Indonesia. Baik dalam
kepentingan bisnis maupun politik. Lewat lembaga-lembaga survey di
Indonesia, mereka senantiasa menerima informasi dan data yang actual
tentang perkembangan politik Indonesia terkini dan ke depan. Dan kita
seringkali tergagap-gagap melihat ‘zig-zag’ gerakan politik mereka.
Wallahu azizun hakim.*
***
Burhanudin Muhtadi Membela Yahudi, Memojokkan Islam
Nuim Hidayat
Redaktur Tabloid Suara Islam
Redaktur Tabloid Suara Islam
Amien Rais: “Saya tidak habis
berpikir, bagaimana William Liddle, yang Yahudi “tengik” itu, dapat
diberi halaman yang begitu panjang di Ulumul Qur’an”
Burhanuddin Muhtadi yang kini terkenal sebagai pengamat politik, ternyata semasa kuliah di Faculty of Asean Studies, Australian National University, pernah membuat tulisan yang memojokkan intelektual Islam. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini, saat itu menulis di Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, 2007, dengan judul The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah (Konspirasi Yahudi: Pencarian Anti Semitisme di Media Dakwah). Makalah berbahasa Inggris sepanjang 24 halaman itu intinya Burhanuddin membela orientalis Yahudi dan memojokkan intelektual Islam. Majalah Media Dakwah yang pernah diterbitkan DDII, Amien Rais, Daud Rasyid dan awak redaksi Media Dakwah berada pada pihak yang salah dan William Liddle, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Harun Nasution pada pihak yang benar. Kesimpulannya, Burhanudin meniadakan adanya konspirasi Yahudi di dunia internasional.
Burhanuddin Muhtadi yang kini terkenal sebagai pengamat politik, ternyata semasa kuliah di Faculty of Asean Studies, Australian National University, pernah membuat tulisan yang memojokkan intelektual Islam. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini, saat itu menulis di Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, 2007, dengan judul The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah (Konspirasi Yahudi: Pencarian Anti Semitisme di Media Dakwah). Makalah berbahasa Inggris sepanjang 24 halaman itu intinya Burhanuddin membela orientalis Yahudi dan memojokkan intelektual Islam. Majalah Media Dakwah yang pernah diterbitkan DDII, Amien Rais, Daud Rasyid dan awak redaksi Media Dakwah berada pada pihak yang salah dan William Liddle, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Harun Nasution pada pihak yang benar. Kesimpulannya, Burhanudin meniadakan adanya konspirasi Yahudi di dunia internasional.
Artikel itu dimulai dengan sinisme kepada Harian Republika yang memberitakan tentang kejadian WTC 2001 silam. Ia juga sinis terhadap Media Dakwah, Suara Hidayatullah dan Sabili yang menyebut adanya konspirasi Yahudi pada hancurnya dua gedung WTC, 11 September 2011.
Peneliti politik andalan UIN Jakarta dan Paramadina ini juga mengritik Mohammad Natsir karena sinis terhadap Yahudi: “In
addition, the founder of the DDII, Mohammed Natsir, was well known as a
long standing anti- Semite. He characterized the Jews as, ‘worms on the
leaves of banana trees.’ (Selain itu, pendiri DDII, Mohammad
Natsir dikenal pendiriannya sebagai anti semit. Natsir menamakan Yahudi
sebagai ‘cacing pada daun pohon pisang’). Burhanuddin mendukung penuh
William Liddle, Nurcholish, Abdurrahman Wahid dan Jaringan Islam
Liberal. Ia setuju dengan tulisan pakar politik AS William Liddle dalam
tulisannya ‘Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi
Politik Islam Masa Orde Baru’.
Burhanuddin membuat sub judul : Media Dakwah, Paranoia, and Conspiracy Theory. Dianggapnya Media Dakwah seringkali
tulisan-tulisannya ‘reduksionis’ dan ‘menyederhanakan masalah.’ Ia
juga mendukung pendapat Liddle bahwa Yahudi juga mendapat keselamatan
dalam Alquran. Sebagaimana dinyatakan pembela pluralisme, seperti
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat dll. Mereka menafikan puluhan ayat
Alquran yang menyatakan bahwa kaum Yahudi adalah sering menolak perintah
Allah, pembunuh Nabi dan terutama menolak kenabian Rasulullah Muhammad
saw.
Dalam kesimpulannya akhirnya Burhanudin menyalahkan Media Dakwah, sebagai pendorong kaum Muslim Indonesia bersikap anti Semit dan paranoid terhadap Yahudi. Kata Burhan: “Akhirnya, Media Dakwah
telah memberikan kontribusi signifikan terhadap dorongan anti-Semit
pada sikap kaum Muslim Indonesia, dengan cara majalah yang disponsori
DDII ini memicu pola pikir paranoid terhadap Yahudi. Segala sesuatu yang
terjadi yang negatif efek terhadap Islam dikaitkan dengan orang-orang
Yahudi. Mengenai persaingan ideologis dalam gerakan Islam Budaya, Media Dakwah
telah berupaya untuk mendelegitimasi lawan, terutama Nurcholish,
dengan klaim yang kuat bahwa dia adalah bagian dari konspirasi
internasional Yahudi. Menggunakan kerangka konseptual Bale dari teori
konspirasi, jelas bahwa Media Dakwah terperangkap dalam sebuah teori
konspirasi. Ini tidak hanya produk yang fantastis gaya paranoid, tetapi
juga alat untuk memobilisasi dukungan terhadap ‘musuh’.”
Siapa William Liddle?
R. William Liddle adalah ahli politik dari Amerika. Ia lahir pada 18 Januari 1938. Indonesianis (orientalis) ini dikenal sebagai pengamat politik Indonesia dan aktif menulis tentang permasalahan politik di Indonesia. Profesor dari Ohio State University ini mempunyai murid-murid yang ‘hebat’ yang berperan besar dalam perpolitikan di Indonesia. Diantaranya: Rizal Mallarangeng yang sekarang salah satu Ketua DPP Golkar, Saeful Mujani dan Denny JA perintis ‘Quick Count’ pemilu di tanah air dan Dodi Ambardi pemilik sebuah lembaga riset. Liddle telah melakukan pengamatan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga saat ini.
Siapa William Liddle?
R. William Liddle adalah ahli politik dari Amerika. Ia lahir pada 18 Januari 1938. Indonesianis (orientalis) ini dikenal sebagai pengamat politik Indonesia dan aktif menulis tentang permasalahan politik di Indonesia. Profesor dari Ohio State University ini mempunyai murid-murid yang ‘hebat’ yang berperan besar dalam perpolitikan di Indonesia. Diantaranya: Rizal Mallarangeng yang sekarang salah satu Ketua DPP Golkar, Saeful Mujani dan Denny JA perintis ‘Quick Count’ pemilu di tanah air dan Dodi Ambardi pemilik sebuah lembaga riset. Liddle telah melakukan pengamatan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga saat ini.
Ketika terjadi polemik sekulerisme
Nurcholish di TIM 90-an, Liddle mendukung aktif Nurcholish. Ia secara
terbuka menyatakan setuju konsep Nurcholish tentang ‘pluralisme agama’.
Ia setuju adanya istilah Islam (I besar yang menunjuk pada institusi
agama) dan islam (i kecil yang menunjuk pada makna kepasrahan diri. Ia
bersepakat dengan tokoh paramadina itu, adanya istilah ‘yahudi islam’.
Dukungannya yang kuat terhadap ide-ide Nurcholish tahun 90-an itu, yang
menyebabkan pakar politik Amien Rais dengan spontan menyatakan Liddle
sebagai ‘Yahudi Tengik’.
Dukungannya terhadap tokoh sekulerisme
Indonesia ini juga nampak ketika Nurcholish sakit di Singapura.
Jauh-jauh dari AS ia menjenguk dan menyalami Nurcholish yang dirawat di
negeri Singa saat itu. Liddle juga bersikap sinis terhadap istri Eep
Saefullah Fatah, Sandrina Malakiano, ketika mengubah penampilannya
menjadi jilbab. Eep adalah bekas murid Liddle di Ohio State University.
Awal tahun 2013 ini ia meluncurkan buku
terbarunya “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan“
yang diluncurkan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina,
Jakarta, 7 Februari 2013 lalu.
Ia pun tidak lupa akhir-akhir ini
memberi komentarnya tentang ‘gonjang-ganjing’ PKS. Dalam wawancaranya
dengan Radio Jerman, Deutsche Welle. Ia menyatakan terus terang tidak
khawatir terhadap perkembangan PKS atau HTI, ia lebih khawatir adanya
kecenderungan arah Golkar yang ke kanan (lebih Islami).
Ketika radio itu bertanya : Apakah anda
melihat partai tengah seperti Golkar kini cenderung semakin kanan untuk
menarik dukungan kelompok yang dulu memilih partai Islam? Bill Liddle
menjawab: “Ya saya khawatir begitu. Ada kecenderungan partai tengah
seperti Golkar sekarang semakin ke kanan. Saya khawatir Golkar menjadi
ke-Islam-Islam-an (secara aspirasi politik-red). Itu lebih berbahaya,
karena menyangkut perlindungan terhadap warga negara. Saya melihat di
masa depan, kemungkinan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah
akan semakin terancam. Itu mengkhawatirkan karena mereka tidak mendapat
perlindungan dari polisi serta sistem politik. Saya lebih khawatir soal
itu ketimbang kemungkinan radikaliasi kelompok Islamis seperti PKS atau
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia-red).”
Ia juga mengingatkan: “Anda harus ingat
sejarah, dulu Golkar lebih populer di daerah daripada di Jawa, dan
jangan lupa suara santri lebih banyak di luar Jawa. Lalu ketika terjadi
perpecahan di partai Golkar tahun 1999, kelompok non santri seperti Edi
Sudrajat hengkang, angkat kaki dari Golkar. Akibatnya, yang tinggal
adalah orang seperti Akbar Tandjung yang punya jaringan santri (Akbar
Tandjung dikenal sebagai tokoh HMI-red). Jadi Golkar sejak 1999 sudah
menjadi lebih Islami ketimbang sebelumnya. Sudah lama saya menyaksikan
partai besar seperti Golkar dan juga Demokrat, memposisikan diri untuk
menampung aspirasi umat Islam. Bahkan ada pemimpin Golkar yang bilang
kepada saya: kami ingin dianggap ramah terhadap Islam. Misalnya dalam
Undang-Undang Anti Pornografi, Golkar mendukung undang-undang itu,
dengan tujuan agar suara umat Islam masuk ke mereka.
Entah mengapa, Burhanudin Muhtadi
cenderung mengikuti pendapat orientalis, bahwa tidak ada konspirasi
Yahudi. Ulah William Liddle mendukung penuh sekulerisme Nurcholish dan
Leonard Binder (pakar politik Amerika) meluncurkan istilah ‘pertama
kali’ Liberal Islam dengan penerbitan bukunya “Islamic Liberalism”,
mungkin belum cukup baginya bukti adanya ‘konspirasi itu’. Bila
pendirian negara Yahudi Israel 1948 dan pemboikotan besar-besaran
kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006 di Palestina, pun ditolaknya
sebagai konspirasi Yahudi, jangan-jangan ia sendiri nun jauh di sana
berkonspirasi dengan orientalis untuk meniadakan teori ‘konspirasi
Yahudi’.
Bisa saja Media Dakwah dalam satu dua
kalimat salah mengungkapkan makna. Tapi secara umum Media Dakwah benar.
Konspirasi Yahudi benar adanya, baik terlihat maupun tidak dan apalagi mayoritas kaum Yahudi adalah pendukung negara Yahudi Israel. Hanya
‘satu dua’ atau minoritas yang menentang pendirian negara ini. Maka
benar firman Allah SWT : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israel dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama
lain selalu tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS Al Maidah 78-79).
Beberapa waktu lalu menjelang pemilu 9
April 2014 Burhanudin juga meremehkan fatwa MUI. Ketika pimpinan MUI
mengeluarkan agar umat Islam memilih caleg Muslim, Dosen UIN dan
Paramadina ini buru-buru menyatakan : “Saya yakin seruan FUI-MUI itu
tidak akan punya efek besar.” Wallahu a’lam bisshawab.
Si online, Minggu, 13/04/2014 21:48:06
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar