ISU
pemecahbelahan terhadap dunia Islam tidak semuanya fakta; sebagaimana tidak
seluruhnya isapan jempol belaka. Sebab, upaya untuk melumpuhkan kekuatan umat
Islam merupakan proyek yang disepakati banyak kelompok. Posisi umat Islam
persis seperti yang disinyalir dalam hadits: “gerombolan pemangsa yang
berebutan terhadap makanannya.”
Sejarah
sendiri menunjukkan bahwa kekuatan umat Islam terdapat dalam empat komponen
vital: menegakkan manhaj yang hak, bersatu dalam manhaj tersebut, mengajak
manusia kepadanya, dan akhirnya upaya membela manhaj itu. Keempat komponen
inilah yang dikandung misi Ilahiyah kepada umat Islam dalam Al-Qur’an:
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai…” (QS. Ali Imran/3: 301)
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali
Imran/3: 110)
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Dalam
upayanya, musuh-musuh Islam senantiasa merongrong keempat komponen vital
tersebut, baik global atau parsial. Biasanya dimulai dengan menyasar manhaj
yang hak, kemudian meniupkan angin perpecahan, demi menciptakan friksi dalam
internal umat sehingga kekuatannya lumpuh, tidak mampu lagi mengajak manusia
kepada Islam atau melindungi dirinya.
Strategi
ini tampak klise, namun selalu aktual. Musuh Islam kerap mendapatkan hasilnya,
sementara umat yang menjadi korban menderita kekalahan yang pahitnya dirasakan
hingga ke generasi berikutnya. Musuh-musuh Islam memecah negeri-negeri Muslim
dan saling membagi hasil-hasil buminya.
Faktor-faktor
perpecahan, berupa fanatisme jahiliyah kepada ego pribadi, ras, tanah air,
bangsa, atau keturunan; merupakan penyakit yang mengendap dalam jiwa manusia
(QS. Hud: 118-119). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut hanya menunggu
manipulasi serta provokasi, khususnya terhadap pribadi-pribadi yang lemah.
Dalam
konteks ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengingatkan umat agar tidak terpancing lewat
faktor-faktor tersebut. Dalam kasus upaya kelompok Yahudi memantik fanatisme
jahiliyah dalam diri kaum Muslim, dimana sebagiannya berhasil terprovokasi,
Rasulullah menegur dengan keras:
“Jauhi
seruan-seruan itu, sesungguhnya perkara tersebut tidak baik!” (HR. Bukhari, no.
3518)
Strategi
ini menjadi senjata bagi generasi serta komprador Yahudi sepanjang zaman.
Strategi yang berhasil menggiring generasi terbaik di era Nubuwah untuk
memanggil dengan sentimen kelompok: “Wahai orang-orang Anshar!” yang dibalas
pihak lawannya: “Wahai orang-orang Muhajirin!” Kendati kedua pihak segera
tersadar setelah mereka diperingatkan.
Namun
ketika kaum Muslim lengah, kelompok phobi Islam memanfaatkan kembali sentimen
serta fanatisme kelompok tadi. Akibatnya, umat Islam terpecah dan negeri-negeri
mereka terpisah. Proyek besar memecahbelahan umat selalu memanfaatkan faktor
fanatisme jahiliyah, yang jelas dilarang Al-Qur’an. Fanatisme yang menjadikan
standar cinta dan benci, kawan dan lawan; bukan karena ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam
banyak kasus, untuk tidak menyebut semuanya, lawan Islam tidak perlu
menciptakan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Mereka cukup memblow up
serta memanipulasi perbedaan pendapat yang ada. Untuk menciptakan friksi dan
persaingan yang sengit, hingga menghasilkan konflik yang kadang sampai kepada
tingkat pertumpahan darah.
Sejak
kolonialisme berhasil memecah negeri-negeri Islam pasca unifikasi di bawah
payung kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, musuh-musuh umat tidak henti-hentinya
mengembangkan strategi untuk menciptakan perpecahan baru. Proyek tersebut
menggunakan beragam cara dan metode, tidak jarang intensitasnya berkurang;
namun yang pasti tidak pernah berhenti. Kerap mengalami kegagalan, tapi tak
mengenal putus asa. Sebab, apapun hasilnya, musuh Islam akan memetik keuntungan
ganda.
“Orang-orang
kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya
sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Baqarah/2: 105)
Dengan
kata lain, politik belah bambu senantiasa membuahkan keuntungan ganda bagi
lawan: kekuatan baru serta ekspansi, atau lumpuhnya kekuatan umat Islam.
Pasca
kekalahan Turki Utsmani di PD I, Inggris dan Prancis membagi dunia Timur Arab
sesuai dengan kepentingan jangka pendek pada saat itu. Perjanjian tahun 1916 M
yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement tersebut sesungguhnya disusun secara
acak, yang sengaja menyimpan potensi konflik perbatasan. Potensi konflik
tersebut lahir dari perbedaan agama, ras, atau aliran. Tiga sumbu
“sektarianisme” yang sengaja dipelihara di daerah perbatasan negara yang telah
terpecah, dan menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Era
perpecahan politik pertama merupakan proyek Eropa. Salibis Nasrani dengan
berbagai sektenya membagi-bagi kekuasaan atas negeri-negeri kaum Muslim, pra
dan pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Juga setelah menjamin tersedianya
tanah rampasan buat komunitas Yahudi. Inggris menganeksasi Irak, Palestina,
Mesir, dan Sudan. Prancis dijatah Suriah dan Maroko. Italia merampas Libia dan
negeri-negeri tanduk Afrika. Tidak ketinggalan Belanda, Spanyol, dan Portugis
yang mendapat bagian terhadap negeri Islam lainnya.
Di
era kolonialisme tersebut, Salibis Nasrani menanamkan benih-benih disintegrasi,
yang kelak bisa dimanfaatkan dalam menciptakan perpecahan baru, baik itu secara
geografis, geopolitik, atau kekayaan alam. Tanpa kepentingan itu pun, cukup
menimbulkan friksi agar kekuatan lawan (Islam) senantiasa dalam kondisi lumpuh,
sibuk mengatasi konflik dan permasalahan internal.
Penulis
akan mengangkat sejumlah proyek pemecahbelahan/separasi yang terbuka ke publik
dalam beberapa dekade terakhir. Fakta yang membuktikan bahwa proyek tersebut
sistematis dan terorganisir. Musuh-musuh Islam bermain di belakangnya, demi
melumpuhkan kekuatan serta elemen vital umat yang disinggung di atas.
Sebelum
masuk ke detail proyek tersebut dengan segenap dinamika dan dampaknya, ada
beberapa benang merah yang harus digarisbawahi terkait dengan proyek
pemecahbelahan itu:
Pertama,
bahwa proyek tersebut tidak sekadar teori di atas kertas, tapi dijalankan dan
menjadi policy yang berlaku sejalan dengan kondisi yang ada.
Kedua,
pihak yang menjadi korban utama dalam seluruh proyek tersebut adalah umat Islam
umumnya, dan secara khusus Ahlus Sunnah, terlebih lagi bangsa Arab. Arab
menjadi kawasan yang paling miskin dan terisolasi.
Ketiga,
pasca era kolonialisme Inggris dan Prancis, ada tiga pihak yang menjalankan
proyek tersebut dewasa ini: Amerika Serikat, Israel, dan Iran.
Keempat,
ketiga pihak yang tersebut itu memiliki strategi ekspansinya masing-masing,
yang berusaha membentangkannya ke wilayah dan kekayaan kelompok Sunni.
Kelima,
ketiga pihak tersebut bisa saja berbeda pendapat dalam segala hal, kecuali
permusuhan terhadap Muslim Sunni, sebagai rival ideologi; atau Arab, sebagai
lawan ras.
Keenam,
ketiga pihak tersebut memiliki agen yang bermain di tengah umat, beraksi di
kelompok-kelompok minoritas. Nama-nama mereka sebagaimana Muslim pada umumnya,
tapi dengan spirit dan militansi yang tidak jarang lebih tinggi daripada “sang
majikan,” demi kepentingan sesaat dengan mengorbankan kepentingan kaum Muslim.
Ketujuh,
ada banyak kemiripan yang sangat kentara dari sejumlah proyek tersebut,
walaupun aktor dan waktu terjadinya berbeda. Semuanya sama memandang pentingnya
berkonsentrasi kepada empat wilayah yang merepresentasikan jantung umat Islam:
Syam, Mesir, Irak, dan Jazirah Arabia. Selanjutnya adalah daerah-daerah yang
punya nilai strategis sendiri.
Kedelapan,
Zionisme global, baik itu sayap Yahudi atau Nasrani, memiliki peran sentral
dalam menanamkan proyek pemecahbelahan tersebut, sekaligus yang memetik
hasilnya. Tidak ada satu pun proyek pemecahbelahan yang tidak melibatkan
tangan-tangan Zionisme, sebagai teoritikus atau pihak yang diuntungkan.
Israel
Pada
tahun 1982, sebuah dokumen rencana proyek pemecahbelahan yang menyasar sebagian
besar negara Arab terungkap. Isi dokumen tersebut demikian berbahaya. Sebagian
besar rencana yang dimuat di dalamnya telah terwujud di Irak dan Sudan;
sedangkan yang menunggu adalah Mesir, Suriah, Yaman, dan Libya, bila kita tidak
mengubah sikap. Dalam laporan organisasi Zionisme internasional yang dimuat
majalah Kivunim (14/2/1982) yang dikutip koran Mesir al-Ahram al-Iqtishadi,
tersebut skenario persis sebagaimana yang terjadi di Irak saat ini dan
diberlakukan terhadap Suriah sejak saat itu.
Laporan
tersebut di antaranya menulis: “Irak yang kaya dengan minyaknya merupakan
negari(a) yang rawan konflik internal, dan dapat disasar oleh Zionisme.
Kehancuran Irak bagi kami lebih penting daripada Suriah. Sebab, dalam jangka
dekat Irak adalah ancaman paling berbahaya bagi negeri Ibrani.”
Sedangkan
untuk Suriah, laporan tersebut menulis:
Suriah
secara mendasar tidak berbeda jauh dengan Libanon yang terdiri dari faksi-faksi
yang berbeda, kecuali dari segi pemerintahan junta militer yang berkuasa. Tapi
konflik vertikal antara mayoritas Sunni dengan minoritas Syiah-Nushairiyah
(12%) yang berkuasa mengindikasikan potensi konflik yang rumit. Memecah Suriah
dan Irak berdasar kelompok ras atau agama menjadi negara-negara kecil yang
indipenden di masa depan merupakan tujuan jangka pendek Zionisme di kawasan
Timur. Suriah kelak akan menjadi negara-negara kecil sesuai dengan komponen ras
dan sekte di dalamnya.
Laporan
tersebut selanjutnya mencatat rencana terhadap Sudan dan Mesir, sebagaimana
perkembangan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebelum
rencana yang detail tersebut dimuat majalah Kivunim tahun 1982, terbit sebuah
buku berjudul Khanjar Israil/Belati Israel (1957) oleh penulis bernama R.K.
Karanjia. Buku tersebut memuat dokumen yang dikenal dengan nama Dokumen
Karanjia sesuai dengan nama jurnalis India tersebut. Gamal Abdel Nasser,
Presiden Mesir saat itu, yang menyerahkan dokumen tersebut kepada Karanjia,
setelah bocor atau dibocorkan dari Staf Angkatan Bersenjata Zionis.
Dokumen
itu berisi rencana memecah negara-negara Arab pasca Sykes-Picot Agreement.
Suriah dibagi kepada negera Druze (sekte, pent.) di daerah selatan, Nushairiyah
di Latakia, Sunni di Damaskus dan sekitarnya. Selanjutnya Syiah di Selatan
Lebanon, lainnya Maronites, Sunni di wilayah tengah dan utara. Tidak lupa
negara merdeka bagi suku Kurdi di Irak, Syiah di selatan, sedangkan Sunni
terisolasi di wilayah tengah Irak, Baghdad dan sekitarnya.
Amerika Serikat
Amerika,
sebagaimana juga Israel, melihat bahwa Inggris dan Prancis sesungguhnya melakukan
dua kekeliruan dalam konteks Sykes-Picot Agreement yang membagi sisa-sisa Turki
Utsmani. Salah satunya adalah bahwa kesepakatan tersebut dibuat secara acak,
terdorong oleh kepentingan sesaat, tanpa mengoptimalkan sekat-sekat sektarian
berupa agama atau aliran keyakinan. Lantaran itu, pernyataan-pernyataan politik
AS dan Israel tentang pemecahan negara-negara Arab senantiasa berangkat dari
revisi terhadap Sykes-Picot Agreement itu.
Kesalahan
kedua adalah terlalu sedikitnya negara yang berhasil dilahirkan lewat
kesepakatan tersebut. Seharusnya, versi AS dan Israel, lebih banyak lagi jumlah
negara yang lahir.
Hingga
beberapa tahun terakhir, AS memiliki ambisi ekspansi yang besar, yang bertumpu
pada penguasaan terhadap sumber-sumber minyak dunia yang strategis: Irak, Iran,
laut Kaspia, dan negara-negara Teluk Arab. Proyek tersebut dikenal sebagai
Project for the New American Century (PNAC), yang dipromotori oleh kelompok
konservatif baru Yahudi yang berada di pusat kekuasaan era Bush Junior. Hanya
saja proyek tersebut gagal akibat dampak dari perlawanan terhadap pendudukan AS
terhadap Irak dan Afghanistan, yang menurut rencana sesungguhnya menarget lima
negara lainnya.
Di
tengah larutnya AS dalam berbagai invasinya, dalam rangka mewujudkan New
American Century itu, mencuat banyak wacana tentang proyek AS dalam rangka
pemecahan negara-negara, khususnya tentang Geater Middle East. Satu yang sangat
populer adalah proposal yang diterbitkan oleh Bernard Lewis, Yahudi Inggris
berkebangsaan Amerika. Dalam serangannya terhadap Irak dan Afghanistan, AS
berkgerak mewujudkan visi Lewis, yang digagasnya di era 40-an. Gagasan yang
diperbaruinya di awal era 80-an dan diterapkan pada awal dekade yang sama.
Proyek
Lewis dalam rangka memecah negara-negara Islam dan Arab berdasar kepada tiga
fondasi, sesuai perspektif AS dan Israel, yaitu perbedaan agama, sekte, dan
ras. Lewis juga menuntut untuk mengubah institusi Islam dan Arab tidak lebih
sebagai “bangunan yang terbuat dari kertas karton,” yang senantiasa lemah
sehingga menjamin eksistensi kekuatan Yahudi.
Sejak
dini, proposal Lewis menginginkan agar Irak dibagi menjadi tiga, persis dengan
rencana Yahudi yang disinggung sebelumnya. Sedangkan Suriah menjadi empat
bagian: Alawiyyin/Nushairiyah, dua bagian buat Sunni, dan sisanya buat Druze.
Mesir diproyeksikan untuk menjadi empat bagian: Sina dan timur Delta buat
kekuasaan Zionis (dalam rangka Israel Raya), utara Mesir buat Koptik Mesir
dengan ibu kota Iskandariyah, selatan buat Nobian dengan pusatnya Aswan, dan
sisanya buat kaum Muslim dengan ibu kotanya Kairo.
Dalam
proyeksi Lewis, Sudan menjadi empat bagian: selatannya buat kelompok Nasrani
dan masyarakat pagan, ujung utara buat Nobian, yang akan terkoneksi dengan
Nobian di selatan Mesir; Darfur buat kaum Muslim non-Arab, sedangkan Muslim
Arab di bagian tengah.
Adapun
Yaman, dia bagi kepada utara dan selatan. Negara-negara Teluk menurut Lewis
harus dibagi kepada negara Syiah Arab yang terletak di pantai barat Teluk Arab,
yang akan mencakup selatan Irak bila kelak terpisah; utara semenanjung Arab
yang digabung dengan Urdun, sebagai negara alternatif bagi bangsa Palestina,
rencana yang gigih diperjuangkan oleh Ariel Sharon. Selanjutnya Lewis
menginginkan agar manajemen Makkah dan Madinah dipergilirkan, hal yang juga
dituntut oleh sekte Rafidhah sejak bertahun lamanya. Adapun jantung Jazirah,
maka dibiarkan bagi Sunni Arab, tanpa kekuatan dan potensi kekayaan alam!
Tahun
2006, majalah Angkatan Bersenjata AS edisi Juni mengangkat sebuah artikel oleh
Ralph Peters, seorang pensiunan pejabat intelijen AS, yang mengajukan proposal
untuk membagi ulang negara-negara Arab dan Islam berdasar ras dan keturunan.
Dia membuat peta yang disebutnya “blood borders” yang diajukannya kepada
otoritas AS agar dijalankan, sebagaimana Inggris dan Prancis dengan Sykes-Picot
Agreement.
Dalam
peta yang dibuatnya, Peters mengulang kembali detail proyek pemecahbelahan
sebelumnya yang pernah ada, khusus yang terkait dengan negara-negara Arab inti.
Tapi dia menambahkan usulan sejumlah negara baru setelah negara lama yang
dibubarkan.
Visi
Ralph Peters dangkal dan tidak realistis. Akan tetapi dia mengungkapkan,
meminjam pernyataan Abdulwahab Musayri, simpul pemikiran di kalangan pemegang
kebijakan AS terhadap dunia Islam. Sebab, penulis artikel tersebut adalah
seorang kolonel yang dekat dengan pemegang kebijakan di samping posisinya di
institusi intelijen. Artikel tersebut juga dimuat di majalah resmi angkatan
bersenjata, yang merepresentasikan kebijakan lembaga.
Kelak,
proposal Peters terbukti tidak lahir dari ruang hampa. Tepat setelah perang
Lebanon berkobar tahun 2006, menlu AS saat itu, Condoleezza Rice segera
mengumumkan bahwa peta Timur Tengah sedang direkonstruksi! Rice menduga bahwa
perang akan semakin melebar hingga ke kawasan sekitarnya, sehingga proyek
tersebut akan berjalan.
Iran
Ketika
revolusi Iran pecah yang disusul oleh perang berdarah Iran-Irak, yang
berlangsung selama delapan tahun di bawah dukungan Barat, beberapa tuntutan
mengemuka untuk merebut kembali wilayah yang dicaplok Iran, seperti Shatt
al-Arab, Arabistan, dan pulau-pulau Emirat Arab. Khomeini saat itu menjawab:
“Jika kalian menginginkan daerah tersebut karena merupakan daerah Arab secara
historis, maka sesungguhnya Imperium Persia, dalam sejarahnya, membentang dari
Khurasan (Iran dan Afghanistan) hingga Yaman!”
Beberapa
dekade setelah pernyataan itu, konspirasi Revolusi Iran terhadap kawasan
Khurasan hingga Yaman tidak pernah berhenti. Di Yaman, pengaruh Syiah-Persia di
wilayah utara menjadi ancaman serius bagi seluruh semenanjung Arab.
Boleh
jadi Iran tidak memiliki rencana yang dibuka ke publik, sebagimana kasus Israel
dan AS, apalagi karena Syiah bertumpu kepada doktrin “taqiyah” yang merambah
sampai ke urusan politik. Akan tetapi jelas bahwa Iran mengambil keuntungan
dari setiap proyek pemecahbelahan yang lain. Baik itu lewat kolaborasi
langsung, atau keuntungan tidak langsung. Karena setiap kali posisi Ahlus
Sunnah melemah, maka akan menambah defisit kekuatan Iran, rival historis Ahlus
Sunnah sejak Shafawiyah mengintrodusir Syiahisme ke negeri Faris.
Irak,
yang diumumkan oleh Israel akan dipecahbelah sejak empat dekade lewat, tidak
hanya direngkuh sepertiga bagiannya, yang kaya sumber daya alam, oleh Syiah.
Bahkan seluruh daerah Irak sesungguhnya telah jatuh ke dalam kekuasaan Syiah,
lewat koalisi semu dan dengan tokoh sekuler yang menjadi kaki tangannya.
Lebanon, yang sebelumnya diproyeksikan akan dibagi menjadi delapan bagian
berdasar kelompok sekte, telah dikuasai seluruhnya oleh Syiah yang pro-Iran,
dalam gerakan yang mirip kudeta politik.
Jika
Yaman diwacanakan terbagi kepada utara dan selatan yang terpisah, maka proyek
Syiah mencakup keduanya. Iran bermain di belakang kemarahan kelompok separatis
di selatan Yaman, sambil mendukung gerakan di utara Yaman yang bersuara
menuntut persamaan. Itu dilakukannya dengan blow up media yang sitematis dan
tanpa henti terhadap gerakan Houthi.
Gerakan
separatis di Bahrain telah melampau batas obsesi, menjadi serakah. Iran tidak
hanya menginginkan salah satu laut Bahrain, tapi kedua-duanya. Menjadi sebuah
republik Syiah revolusioner yang pertama di Teluk Arab yang Sunni. Yang akan
menjadi “magnet” bagi “republik-republik” Syiah selanjutnya.
Suriah
dewasa ini menjadi buah bibir proyek pemecahbelahan pasca rezim Ba’ath-Nushairiyah.
Peta lama menginginkan wilayah utara dengan ibu kota Latakia diserahkan kepada
Nushairiyah (Alawiyah). Adapun Iran, berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan
momentum demi menjamin kepentingannya berupa jalur masuk lewat Laut Tengah,
melalui sebuah negera boneka kecil yang dihuni kelompok Nushairiyah. Negara
bentukan Rafidhah tersebut akan menjadi duri abadi di jantung wilayah Syam
(Islam-Sunni).
Iran
bertaruh dengan semua proyek pemecahbelahan yang mengacu kepada faktor
sektarianisme aliran. Di samping berusaha mencabut bagian-bagian dari wilayah
Ahlus Sunnah yang berpenduduk mayoritas Syiah, Iran juga tidak ketinggalan
menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri mayoritas Sunni lainnya. Upaya
infiltrasi dilakukan Iran secara intensif di Mesir, Palestina, Sudan, dan
banyak negara Afrika dan Asia.
Artikel
ini tidak mampu menyorot semua bahasan terkait proyek krusial pemecahbelahan
yang terjadi di negeri-negeri Islam. Apa yang diketengahkan tidak lebih
merupakan garis besarnya saja. Paparan yang lebih rinci akan dikemuakakan pada
tulisan yang lain, dengan izin Allah.
Sumber : ISLAMPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar